AKAD SALAM BANK
SYARIAH
Tugas ini Disusun Guna Memenuhi UAS Semester VI
Mata Kuliah AKUNTANSI PERBANKAN SYARIAH
Dosen Pembimbing Yunida
Een Efriyanti

Disusun Oleh
MUHAMMAD DWI
FEBRIZAL
NIM. 211 313 8037
PRODI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Diantara
bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam,
yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan
dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu,
dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada
unsur tipu-menipu atau ghoror (untung-untungan)., Pembeli (biasanya)
mendapatkan keuntungan berupa:Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan
yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.Sebagaimana ia juga
mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan
pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut. Sedangkan penjual
juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli,
diantaranya: Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan
cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya
tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual
dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan
mencari keuntungan sebanyak banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
Penjual
memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya
tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Jual-beli dengan cara salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam
guna menghindari riba. Dan mungkin ini merupakan salah satu hikmah
disebutkannya syari'at jual-beli salam seusai larangan memakan riba.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Akad Salam
Definisi yang diberikan oleh para fuqaha
berbeda-beda. Fuqaha Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang
yang penyerahannya ditunda atau menjual suatu barang yang yang ciri-cirinya
jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan
dikemudian hari”.[1] Fuqaha
Hanabilah dan Syafi’iyah mendefinisikannya dengan “Akad yang telah disepakati untuk
membuat sesuatu dengan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya terlebih
dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kepada pembeli dikemudian hari”.[2]
Sedangkan Fuqaha Malikiyah mendefinisikannya dengan: “Jual-beli yang modalnya
dibayar terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu
yang telah disepakati”.[3]
Jadi Salam adalah jual-beli
barang dimana pembeli memesan barang dengan spesifikasi yang telah ditentukan
sebelumnya, dengan pembayaran yang dilakukan sebelum barang tersebut selesai
dibuat, baik secara tunai maupun angsuran, dan penyerahan barangnya dilakukan
pada suatu saat yang disepakati di kemudian hari. Dengan demikian dalam
transaksi Salam, pembeli pemesan memiliki piutang barang terhadap
penjual, dan sebaliknya penjual mempunyai utang barang kepada pembeli.
B.
Dasar Hukum
Akad Salam
Dasar hukum Salam adalah firman Allah: :”Wahai
orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secar atunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah (2)
: 282)
Berkenaan dengan ayat ini Ibn Abbas berkata; “Saya bersaksi bahwa Salaf
(Salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan
oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya”. Ia lalu membaca ayat tersebut di
atas.[4]
Dasar
hukum lainnya adalah hadis yang berkaitan dengan tradisi penduduk Madinah yang
didapati oleh Rasulullah pada awal hijrah beliau ke sana, yaitu tradisi akad Salaf
(Salam) dalam buah-buahan untuk jangka waktu satu tahun atau dua
tahun. Beliau bersabda; “Barangsiapa melakukan jual beli Salaf (Salam)
pada kurma, hendaknya ia melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan
yang jelas pula, untuk jangka waku yang diketahui”. (HR. al-sittah) Pada
hadits lainnya Rasulullah bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat
keberkatan: jual-beli secara tanggung, muqarradah (nama lain mudharabah),
dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”
(HR. Ibn Majah)
Dari
sudut Usul Fiqh, akad Salam ini dipandang menyalahi kaidah umum dalam
jual-beli, yaitu bahwa barang dan harga harus ada pada saat akad. Sedangkan
pada akad Salam barang yang dijual tidak ada. Atas dasar itu, Salam dipandang
menyalahi qiyas. Namun karena ada nash, maka qiyas ditinggalkan. Di
dalam Ushul Fiqih, berpaling dari kaidah umum kepada nas disebut Istihsan bi
al-nash. Demikian menurut pandangan fuqaha Hanafiyah dan Malikiyah yang
menjadikan Istihsan sebagai slah satu metode istinbat hukumnya.[5]
Ibn
al-Qayyim al-Jauziyyah tidak sependapat dengan mereka karena pandangan itu
berarti menempatkan qiyas di atas nash. Menurutnya, Salam itu sejlan
dengan kaidah umum. Sebab kata dayn (hutang) dalam surah al-Baqarah (2);
282 mencakup pengertian htang uang (harga) dan hutang barang (penundaan
penyerahan barang yang diperjual belikan). Karena itu kebolehan Salam sejalan
dengan kaidah umum, sehingga tidak menyalahi qiyas.[6]
C.
Rukun
Akad Salam
Menurut
fuqaha Hanafiyah, rukun Salam itu
hanya ijab dan qabul. Sedangkan menurut fuqaha lainnya, Rukun Salam itu ada
empat, yaitu:
1.
Transaktor yakni pembeli (muslam) dan penjual (muslam
ilaih);
a.
Transaktor
terdiri atas pembeli (muslam) dalam hal ini nasabah dan penjual (muslam
ilaih) dalam hal ini bank syariah.
b.
Kedua
transakstor disyaratkan memiliki kompetensi berupa akil baligh dan kemampuan
memilih yang optimal seperti tidak gila, tidak sedang dipaksa dan lain yang
sejenis. Adapun untuk transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan izin
dan pantauan dari walinya.
c.
Terkait
dengan penjual, fatwa DSN no 05/DSN-MUI/IV/2000 mengharuskan agar penjual
menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
d.
Penjual
diperbolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan
syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan ia tidak boleh
menuntut tambahan harga.
2.
Objek akad salam berupa barang dan harga yang diperjualbelikan
dalam transaksi salam
DSN dalam fatwanya menyatakan bahwa ada beberapa
ketentuan yang harus dipenuhi oleh barang yang diperjualbelikan dalam transaksi
salam. Ketentuan tersebut antara lain:
a.
harus
jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai utang
b.
harus dapat dijelaskan
spesifikasinya
c.
penyerahannya dilakukan
kemudian
d.
waktu dan tempat
penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan
e.
pembeli tidak boleh
menjual barang sebelum menerimanya.
f.
Tidak boleh menukar
barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
3.
Ijab dan kabul yang menunjukkan pernyataan kehendak jual
beli secara salam, baik berupa ucapan atau perbuatan.
D.
Syarat Akad Salam
1.
Pihak-pihak
yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
2.
Barang
yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, cirri-ciri, dan ukurannya.
3.
Modal
atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya
ketika berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut
harus dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual. Untuk
menghindari praktek riba melalui mekanisme Salam, pembayarannya tidak bisa
dalam bentuk pembebasan utang penjual.[7]
4.
Ijab
dan qabul harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh
hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
E.
Salam di Perbankan Syari’ah
Di
masyarakat ada anggapan bahwa jual-beli Salam itu tidak ada bedanya dengan
jual-beli Ijon. Dalam jual beli ijon, pembeli membayar lunas harga
buah-buahan di pohon yang masih belum saatnya dipanen karena belum matang
(masih hijau). Ketika penen tiba, berapapun jumlah buah yang ada di pohon
adalah hak milik pembeli. Mungkin pembeli mendapatkan keuntungan besar ketika
buah yang dipanen lebih banyak dari yang diperkirakan. Mungkin pula ia
menderita kerugian ketika yang dipanen lebih sedikit dari yang diperkirakan.
Jadi di sini terdapat unsur ketidak jelasan (gharar) dalam hal jumlah
barang yang diperjual belikan. Demikian pula tidak ada kejelasan mengenai waktu
penyerahannya.
Jual-beli
Salam tidak sama dengan jual beli Ijon, karena dalam jual beli Salam kualitas
dan kuantitas barang serta waktu penyerahannya sudah ditentukan dan disepakati
sebelumnya, sehingga di dalamnya tidak ada unsur garar. Karena itu, bila
panen buah-buahannya kurang, penjual harus memenuhinya dari pohon yang lain.
Tetapi bila lebih, maka kelebihannya itu menjadi milik penjual.
Di perbankan Syariah,
jual beli salam lazim ditetapkan pada pembelian alat-alat pertanian,
barang-barang industri, dan kebutuhan rumah tangga. Nasabah yang memrlukan
biaya untuk memproduksi barang-barang industri bisa mengajukan permohonan
pembiayaan ke bank syari’ah dengan skim jual-beli salam. Bank dalam hal ini
berposisi sebagai pemesan (pembeli) barang yang akan diproduksi oleh nasabah.
Untuk itu bank membayar harganya secara kontan. Pada waktu yang ditentukan,
nasabah menyerahkan barang peasanan tersebut kepada bank. Berikutnya bank bisa
menunjuk nasabah tersebut sebagai wakilnya untuk menjual barang tersebut kepada
pihak ketig secara tunai. Bank bisa juga menjual kembali barang itu kepada
nasabah yang memproduksinya itu secara tangguh (bisaman ajil) dengan
mengambil keuntungan tertentu.
Jadi
setelah akad Salam tuntas dengan diserahkannya barang oleh nasabah (penjual)
kepada bank (pembeli), masih ada beberapa akad lain yang mengiringinya. Kalau
bank kemudian menunjuk nasabah tersebut sebagai wakil bank untuk menjual barang
itu secara tunai kepada pihak ketiga, maka yang terjadi adalah akad jual beli murabahah
bisama ajil. Dengan beralihnya kepemilikan barang itu kepada nasabah,
sedangkan ia belum membayar sepeserpun kepada bank, maka timbullah dayn (hutang).
Selanjutnya, walaupun tidak wajib, biasanya diikuti dengan akad rahn, dimana
bank menahan barang jaminan, baik berupa barang yang sudah dibeli kembali oleh
nasabah itu tadi atau barang lain.[8]
Kenyataan
di lapangan menunjukkan bahwa bank tidak selalu mudah untuk menjual kembali
barang industri yang dibelinya itu, baik kepada pihak ketiga maupun kepada
nasabah. Untuk itu lalu dilakukanlah akad Salam parallel, yaitu dua akad salam
yang dilakukan secara simultan antara bank dan nasabah di satu pihak dan antara
bank dan pemasok barang (supplier) di pihak lain. Menurut Dewan Pengawas
Syari’ah Rajbi Investemen Corporation, Salam paralel ini diperkenankan dengan
syarat pelaksanaan akad salam yang pertama.[9]
Di
bank-bank Islam yang sudah mapan seperi di Sudan, Bahrain, dan negara-negara
Timur Tengah lainnya, transaksi dilakukan dengan system Salam Tunggal.
Konsekuensinya, bank harus memiliki inventory yang dikelole secara professional
agar tidak mengalami kerugian. Bank juga harus menyediakan gudang tempat
penyimpanan (Warehouse) barang, baik milik sendiri maupun menyewa dari pihak lain.
Jadi bank dalam hal ini bertindak sebagai pedagang yang terjun langsung dalam
persaingan bisnis komoditi. Sedangkan di negara-negara yang masih memegang
paradigma bank sebagai intermediary institution di mana bank tidak
malakukan transaksi perdagngan secara langsung, maka mekanisme yang
memungkinkan adalah salam paralel. Aritinya bank melakukan transaksi salam
dengan produsen (Salam pertama) jika bank sudah memiliki nasabah sebagai calon
pembeli (Salam kedua). Bank dalam hal ini tidak perlu mengoperasikan gudang
karena pengiriman barang bisa dilakukan langsung dari produsen kepada pembeli.
Dalam prakteknya, bisa saja taransaksi antara bank dengan calon pembeli
(pemesan) terjadi lebih dahulu (Salam pertama), kemudian bank mencari produsen
untuk memenuhi pesanan tersebut (Salam kedua).[10]
F. Transaksi Salam
1.
Transaksi
Salam Pertama
PT.
Thariq Agro Mandiri , membutuhkan 100 ton biji jagung hibryda untuk keperluan
ekspor 6 bulan yang akan datang. Pada tanggal 1 Juni 20XA, PT. Thariq Agro
Mandiri melakukan pembelian jagung dengan skema salam kepada Bank Syariah
Sejahtera. Adapun informasi tentang pembelian tersebut adalah sebagai berikut:
Spesifikasi
barang : Biji jagung manis hybrida
kualitas no 2
Kuantitas : 100 ton
Harga : Rp 700.000.000 ( Rp
7.000.000 per ton)
Waktu
penyerahan : Dua tahap setiap tiga
bulan sebanyak 50 ton (2 September dan 2
Desember 20XA)
Syarat pembayaran : Dilunasi pada saat akad ditandatangani
2.
Transaksi
Salam Kedua
Untuk
pengadaan produk salam sebagaimana diinginkan oleh PT. Thariq Agro Mandiri,
bank syariah selanjutnya pada tanggal 2 Juni 20XA mengadakan transaksi salam
dengan petani yang bergabung dalam KUD. Tunas Mulia dengan kesepakatan sebagai
berikut:
Spesifikasi barang : Biji jagung manis hybrida
kualitas kualitas no 2
Kuantitas : 100 ton
Harga : Rp 650.000.000 (Rp 6.500.000
per ton)
Penyerahan modal : Uang tunai sejumlah Rp 650.000.000
Waktu penyerahan barang : Dua tahap setiap tiga bulan sebanyak 50
ton (1 September
dan 1 Desember 20XA)
Agunan : Tanah dan kendaraan senilai Rp 700.000.000
Syarat pembayaran : Dilunasi pada saat akad
ditandatangani
Denda
kegagalan penyerahan karena kelalaian atau kesengajaan: 2% dari nilai produk
yang belum diserahkan.
G.
Penjurnalan
Transaksi Salam
a.
Penerimaan
dana dari nasabah pembeli
Pada saat akad disepakati, pembeli
disyaratkan untuk sudah membayar produk salam secara lunas. Berdasarkan PSAK no
103 paragraf 17 disebutkan bahwa kewajiban salam diakui pada saat penjual
menerima modal usaha sebesar modal usaha salam yang diterima. Berdasarkan kasus
diatas, pada saat bank syariah melakukan akad salam dengan PT. Thariq
Agro Mandiri (PT. TAM) dan menerima dana salam, maka jurnal transaksi tersebut
adalah sebagai berikut:
Tanggal
|
Rekening
|
Debit (Rp)
|
Kredit (Rp)
|
5/6/XA
|
Db. Kas/rekening
nasabah pembeli – PT. TAM
|
700.000.000
|
|
Kr. Hutang salam
|
700.000.000
|
b.
Penyerahan modal salam
dari bank syariah kepada pemasok atau petani
Berdasarkan PSAK no 103 paragraf 11
disebutkan bahwa piutang salam diakui pada saat modal usaha salam dibayarkan
atau dialihkan kepada penjual. Modal usaha salam dalam bentuk kas diukur
sebesar jumlah yang dibayarkan (PSAK no 103 paragraf 12).
Misalkan pada tanggal 1 Juni, bank syariah
menyerahkan modal berupa uang tunai sebesar Rp 650.000.000,- ke rekening KUD di
bank maka jurnal saat penyerahan modal salam oleh bank syariah kepada KUD
adalah sebagai berikut:
Tanggal
|
Rekening
|
Debit (Rp)
|
Kredit (Rp)
|
6/6/XA
|
Db. Piutang salam
|
650.000.000
|
|
Kr. Kas/rekening nasabah
penjual – KUD TM
|
650.000.000
|
c.
Penerimaan barang
pesanan dari pemasok atau petani
Berdasarkan
PSAK no 103 paragraf 16 disebutkan bahwa barang pesanan yang diterima diakui
sebagai persediaan. Adapun waktu penerimaan produk salam dari pemasok atau
petani, dilakukan sesuai dengan tanggal kesepakatan.
Pada
saat penerimaan produk salam, sangat mungkin terjadi perbedaan antara kualitas
dan nilai wajar barang dengan kualitas dan nilai kontrak. Perbedaan tersebut
antara lain berupa;
a.
Kualitas barang dan
nilai wajar barang, sama dengan nilai kontrak;
b.
Kualitas barang lebih
rendah dan nilai wajar barang lebih rendah dari nilai kontrak;
c.
Kualitas barang dan
nilai wajar barang, lebih tinggi dari nilai kontrak;
Berdasarkan
PSAK no 103 paragraf 13a, disebutkan bahwa jika barang pesanan sesuai dengan
akad, maka dinilai sesuai dengan nilai yang disepakati.
Misalkan pada tanggal 1 September 20XA dan 1 Desember
20XA, KUD TM menyerahkan masing-masing 50 ton biji jagung manis hybrida
kualitas no 2 sebagaimana yang disepakati dalam perjanjian salam. Adapun nilai wajar
produk tersebut pada saat penyerahan sama dengan nilai kontrak yaitu Rp
325.000.000 (50 ton x Rp 6.500.000 per ton). Jurnal untuk saat penyerahan
produk salam dari KUD ke bank syariah adalah sebagai berikut:
Tanggal
|
Rekening
|
Debit (Rp)
|
Kredit (Rp)
|
1/9/XA
|
Db. Persediaan produk
salam
|
325.000.000
|
|
Kr. Piutang salam
|
325.000.000
|
||
Ket: Penyerahan tahap
pertama sebanyak 50 ton biji jagung kualitas 2 dengan kualitas barang dan
nilai wajar barang sama dengan nilai kontrak.
|
|||
1/12/XA
|
Db. Persediaan produk
salam
|
325.000.000
|
|
Kr. Piutang salam
|
325.000.000
|
||
Ket: Penyerahan tahap
kedua sebanyak 50 ton biji jagung kualitas 2 dengan kualitas barang dan nilai
wajar barang sama dengan nilai kontrak.
|
H.
Variasi dalam Transaksi
Salam
1. Penyerahan modal salam dengan menggunakan aset nonkas
1.1.
Nilai wajar aset salam nonkas sama dengan dari nilai tercatatnya
Misalkan pada kasus di atas, bank syariah
menyerahkan modal berupa uang tunai ke rekening KUD di bank dan berupa mesin
pertanian. Misalkan mesin pertanian yang diserahkan memiliki nilai buku sebesar
Rp 25.000.000, (harga perolehan Rp 30.000.000.000 dan akumulasi penyusutan Rp
5.000.000). Peralatan tersebut selanjutnya diserahkan kepada KUD TM sebagai
pembiayaan berwujud nonkas dan dihargai dengan nilai Rp 25.000.000. Maka jurnal untuk transaksi penyerahan aset
nonkas adalah sebagai berikut:
Rekening
|
Debit (Rp)
|
Kredit (Rp)
|
Db. Piutang salam
|
23.000.000
|
|
Db. Akumulasi
penyusutan
|
5.000.000
|
|
Db. Kerugian pada saat penyerahan
|
2.000.000
|
|
Kr. Aset salam – mesin
pertanian
|
30.000.000
|
2.
Variasi dalam
penerimaan barang pesanan dari pemasok atau petani
Pada
saat penerimaan produk salam, sangat mungkin terjadi perbedaan antara kualitas
dan nilai wajar barang dengan kualitas dan nilai kontrak. Variasi tersebut
antara lain; (1) Kualitas barang dan nilai wajar barang, sama dengan nilai
kontrak; (2) Kualitas barang lebih rendah dan nilai wajar barang lebih rendah
dari nilai kontrak; (3) Kualitas barang dan nilai wajar barang, lebih tinggi
dari nilai kontrak;
2.1.
kualitas barang lebih rendah dan nilai wajar barang lebih rendah dari nilai kontrak
Misalkan pada tanggal 1 September 20XA, KUD TM hanya bisa
menyerahkan 50 ton biji jagung manis hybrida kualitas no 3. Adapun nilai wajar
produk tersebut adalah Rp 300.000.000 (50 ton x Rp 6.000.000). Jurnal untuk
saat penyerahan produk salam dari KUD ke bank syariah adalah sebagai berikut:
Tanggal
|
Rekening
|
Debit (Rp)
|
Kredit (Rp)
|
1/9/XA
|
Db.Persediaan salam –
50 ton biji jagung kualitas 3
|
300.000.000
|
|
Db.Kerugian
penerimaan barang salam
|
25.000.000
|
||
Kr.Piutang salam
|
325.000.000
|
2.2. kualitas barang
dan nilai wajar barang, lebih tinggi dari nilai kontrak
Misalkan pada tanggal 1 September 20XA, KUD TM
menyerahkan 50 ton biji jagung manis hybrida kualitas no 1. Adapun nilai wajar
produk tersebut adalah Rp 350.000.000 (50 ton x Rp 6.500.000). Jurnal saat
penyerahan produk salam dari KUD ke bank syariah adalah sebagai berikut:
Tanggal
|
Rekening
|
Debit (Rp)
|
Kredit (Rp)
|
1/9/XA
|
Db. Persediaan salam – 50 ton biji
jagung kualitas 1
|
325.000.000
|
|
Kr. Piutang salam
|
325.000.000
|
3.
Pemasok atau petani
gagal menyerahkan seluruh atau sebagian produk salam pada masa akhir kontrak.
Alternatif 1: Pembeli
memperpanjang masa pengiriman
Berdasarkan PSAK no 103 paragraf 13c(i) dinyatakan bahwa
jika tanggal pengiriman diperpanjang, maka nilai tercatat piutang salam sebesar
bagian yang belum dipenuhi sesuai dengan nilai yang tercantum dalam akad.
Dengan demikian, jika bank sebagai pembeli memilih alternatif memperpanjang
masa pengiriman, maka bank hanya melakukan revisi terhadap kesepakatan jual
beli salam dalam hal waktu penyerahan barang. Dalam hal ini tidak ada transaksi
yang harus dijurnal oleh bank.
Alternatif 2: Pembeli
membatalkan pembelian barang yang belum dikirim
Berdasarkan PSAK no 103 paragraf 13c(ii), disebutkan
bahwa jika akad salam dibatalkan sebagian atau seluruhnya, maka piutang salam
berubah menjadi piutang yang harus dilunasi oleh penjual sebesar bagian yang
tidak dapat dipenuhi. Dengan demikian, jika pembeli membatalkan pembelian
barang yang belum dikirim, maka diperlukan jurnal untuk mengakui pembatalan
tersebut
Jika pada kasus 10.1 di atas, KUD TM gagal menyerahkan
sisa produk salam yang disepakati dan bank memilih untuk membatalkan pembelian
barang yang belum dikirim, maka jurnal untuk mengakui pembatalan tersebut
adalah sebagai berikut:
Tanggal
|
Rekening
|
Debit (Rp)
|
Kredit (Rp)
|
1/12/XA
|
Db. Piutang KUD TM
|
325.000.000
|
|
Kr. Piutang salam – KUD TM
|
325.000.000
|
Selanjutnya untuk
melunasi piutang KUD TM, terdapat beberapa alternatif yaitu
1. Dilunasi dengan dana kas KUD TM,
2. Dilunasi dengan penjualan jaminan.
Adapun jurnalnya adalah
sebagai berikut:
Rekening
|
Debit (Rp)
|
Kredit (Rp)
|
Db. Kas/rekening KUD TM
|
325.000.000
|
|
Kr. Piutang KUD TM
|
4.
Pengenaan denda kepada
penjual yang gagal menyerahkan produk salam bukan karena
force majeur
PSAK
no 103 paragraf 15 menyatakan bahwa pembeli dapat mengenakan denda kepada
pemasok yang gagal menyerahkan produk salam jika pemasok tersebut pada dasarnya
mampu akan tetapi sengaja tidak melakukannya. Denda tidak berlaku bagi penjual
yang tidak mampu menunaikan kewajibannya karena force majeur. Adapuin
besar denda yang dikenakan menurut PSAK no 103 paragraf 15 adalah sebesar yang
disepakati dalam akad. Denda yang diterima oleh bank sebagai pembeli diakui
sebagai bagian dana kebajikan (dana
qardh) (PSAK no 103 paragraf 14).
Misalkan
pada kasus 10.1, KUD TM gagal menyerahkan produk salam kepada bank syariah
senilai Rp 325.000.000 pada waktu jatuh tempo. Sesuai dengan kesepakatan KUD
dikenakan denda 2% dari nilai produk yang belum direalisir atau sebesar Rp
6.500.000. Adapun jurnal penerimaan denda adalah sebagai berikut:
Tanggal
|
Rekening
|
Debit (Rp)
|
Kredit (Rp)
|
1/12/XA
|
Db. Kas/rekening –
KUD
|
6.500.000
|
|
Kr. Dana kebajikan
|
6.500.000
|
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin, Ibn. Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr
al-Mukhtar, vol.4. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Syarbini, al-Khatiib. 1978. Mugni
al-Muhtaj, vol 2. Beirut: Dar al-Fikr.
Qudamah, Ibn. Al-Mugni Syarh
al-Kabir, vol 2. Maktabah al-Riyad al Hadisah.
Rusd,
Ibn. 1978. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, vol.2. Beirut:
Dar al-Fikr.
Antonio, Syaf’i. 2001. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek. Jakarta:
Gema
Insani Press.
Haroen,
Nasrun. 2000. Fiqih Muamalah. Jakarta: Gama Media Pratama.
A.Karim, Adiwarman. 2004. Bank
Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Tim
Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia. 2001. Konsep,
Produk, dan ImplementasiOperasional
Bank Syariah. Jakarta: Djambatan.
[1] Ibn
“Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, vol.4, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.t), hal. 212.
[2]
Al-Syarbini al-Khatiib, Mugni al-Muhtaj, vol 2, (Beirut: Dar al-Fikr,
1978), h. 102 dan Ibn
Qudamah, al-Mugni Syarh al-Kabir, vol 2, (t.t.p.: Maktabah
al-Riyad al Hadisah, t.t), hal.275
[3] Ibn Rusd, Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, vol.2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978),
hal.199
[4] M.Syaf’I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), hal. 108
[5] Nasrun Haroen, Fiqih
Muamalah, (Jakarta: Gama Media Pratama, 200), hal. 148
[6] ibid, hal. 149
[7] M. Syafi’I Antonio, Bank
Syariah Dari Teori ke Praktek, hal. 109
[8]
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada,
2004), hal. 96
[9] M. Syafi’I, Bank
Syaria., hal.110
[10] Tim Pengembangan
Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk, dan
Implementasi
Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Djambatan,
2001), hal.100-102